RSS

ENTALPI PELARUTAN







ENTALPI PELARUTAN
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIK








                          Nama                                : Inayatul  Mukarromah
                          NIM                                      :           131810301052
                          Kelompok                         : 5
                          Asisten                              : Siti Rofiqoh










LABORATORIUM KIMIA FISIK
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2015



BAB 1. PENDAHULUAN

1.1    Tujuan Percobaan
Tujuan percobaan ini adalah mengetahui pengaruh temperatur terhadap kelarutan suatu zat dan menentukan entalpi kelarutannya.

1.2    Latar Belakang
Bidang kimia tidak lepas dari reaksi antara suatu zat dengan zat lainnya. Untuk memperoleh suatu larutan kimia dengan konsentrasi tertentu dilakukan proses pelarutan. Pelarutan melibatkan zat terlarut (solute) dan zat pelarut (solvent). Jumlah zat terlarut lebih sedikir daripada zat pelarut. Pelarut yang paling umum digunakan adalah akuades. Selain untuk mendapatkan larutan dengan konsentrasi tertentu, pelarutan dapat digunakan untuk mengubah wujud suatu zat.
Zat yang dicampurkan tidak seluruhnya akan larut. Zat pelarut memiliki batas kapasitas sejumlah zat terlarut tertentu yang dapat dilarutkan. Zat-zat yang tidak larut tersebut akan mengendap pada bagian bawah. Hal ini menyebabkan terbentuknya dua fasa sehingga diperlukan perlakuan khusus untuk melarutkan zat yang tidak dapat larut tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemanasan. Sejumlah kalor tertentu yang diberikan pasa saat pemanasan dapat  berpengaruh pada kelarutan zat tersebut. Sejumlah panas yang diberikan dapat diserap  atau bisa jadi sistem yang akan mengeluarkan panas. Jumlah panas yang dilaserap atau dilepaskan dapat diukur dengan temperatur sehingga dapat diketahui entalpinya.
Percobaan ini akan dilakukan pemanasan pada larutan denga menggunakan varisi suhu yang berbeda sehingga akan menghasilkan data kelarutan pada masing-masing suhu. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui pengaruh suhu terhadap kelarutan suatu zat. Selain itu, dengan dilakukannnya percobaan ini diharapkan praktikan dapat mengetahui lebih dalam tentang pelarutan zat dan entalpi kelarutannya.

1.3    Kajian Teori
1.3.1   Material Safety Data Sheet (MSDS)
1.3.1.1  Akuades
Akuades merupakan bentuk dari air murni yang dihasilkan dari proses penyulingan. Akuades merupakan larutan yang tidak berwarna, berbau, dan tidak memiliki rasa. Akuades memiliki berat molekul sebesar 18,02 g/mol dan merupakan larutan yang memiliki pH 7 (netral). Akuades memiliki titik didih 100oC (212oF) dan tekanan uapnya adalah 0,62. Secara umum, akuades tidak berbahaya apabila mengenai praktikan. Akuades tidak akan menyebabkan kebutaan maupun iritasi apabila mengenai mata dan kulit. Akuades juga tidak akan menyebabkan gangguan pencernaan dan pernafasan. Kulit yang sensitif apabila terkena akuades dapat menyebabkan reaksi pada kulit. Segera dicuci kulit dan mata dengan air mengalir apabila terkena akuades. Akuades harus disimpan dalam wadah yang kering dan bersih serta tertutup rapat. Penyimpanan akuades dalam ruangan yang sejuk dan tidak terkena sinar matahari langsung (Anonim).















Gambar 1. Struktur 2D dan 3D dari akuades (air)
1.3.1.2  Asam Oksalat
sam oksalat merupakan bahan kimia yang berbentuk serbuk berwarna putih. Asam oksalat memiliki titik leleh -101,5 oC serta larut dalam air dan etanol. Asam oksalaet memiliki pH 1 dan pada reaksi dekomposisi menghasilkan gas berbahaya, yakni karbon. Mata yang terkena asam oksalat segera dibasuh dengan air. Kulit yang terkena bahan ini segera dibilas dan disabun hingga bersih. Pakaian dicuci sebelum digunakan kembali. Korban yang menghirup asam oksalat segera dipindahkan ketempat yang segar. Asam oksalat yang tertelan tidak boleh dimuntahkan. Mulut dibersihkan dan diberi minum 200-300 mL air, segera menghubungi tim medis. Asam oksalat disimpan pada wadah aslinya dan ditutup rapat (Anonim, 2015).



Gambar 2. Struktur 2D dan 3D dari Asam Oksalat

1.3.1.3  Natrium Hidroksida (NaOH)
Natrium hidroksida (NaOH) merupakan salah satu bahan kimi yang berwujud padar dan berwarna putih. NaOH memiliki titik didih 1388oC (2530,4 oF), titik leleh 323 oC (613,4oF). NaOH merupakan produk yang stabil dan non-flammable. NaOH dapat menyebabkan iritasi pada mata dan kulit, serta gangguan pernafasan dan pencernaan. Mata yang terkena bahan in segera dibilas dengan air selama 15 menit. Kulit yang terkena NaOH segera dibilas dan disabun hingga bersih. Korban yang menghirup bahan ini segera dipindahkan ketempat yang segar. NaOH yang tertelan tidak boleh dimuntahkan dan tidak boelah memasukkan apapun kedalam mulut. Segera menghubungi tim medis untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. NaOH disimpan dalam wadah kosong dan tertutup rapat. NaOH disimpan dalam ruangan sejuk (maksimal 23oC/73,4oF) dan ruangan berventilasi baik (Anonim, 2015).








 

 

Gambar 3. Struktur 2D dan 3D dari Natrium Hidroksida
1.3.1.4  Indikator PP
Indikator phenolphthalein merupakan indikator yang digunakan untuk mengindikasi larutan basa atau asam. Indikator PP berwujud cairan, tidak berwarna/jernih, dan baunya seperti alcohol. Indikator PP biasanya memiliki pH 8 (basa). Indikator PP memiliki titik didih 82oC-83,21oC (180,5oF-181.8oF) sedangkan titik lelehnya sekitar -88,5oC(-127,3oF). Indikator PP dapat larut dalam air dingin, air panas, dietil eter, dan aseton. Indikator PP dapat menyebabkan iritasi pada mata dan kulit, serta gangguan pernafasan dan pencernaan. Mata yang terkena bahan in segera dibilas dengan air selama 15 menit. Kulit yang terkena Indikator PP segera dibilas dan disabun hingga bersih. Korban yang menghirup bahan ini segera dipindahkan ketempat yang segar. Indikator PP yang tertelan tidak boleh dimuntahkan dan tidak boelah memasukkan apapun kedalam mulut. Segera menghubungi tim medis untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Indikator PP disimpan dalam wadah yang kering, tertutup rapat, dan tidah terkena cahaya matahari langsung (Anonim, 2015).


  
 


Gambar 3. Struktur 2D dan 3D dari Indikator Phenolpthalein

1.3.2. Teori
Salah satu cabang ilmu kimia adalah termodinamika. Termodinamika merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang kalor dan hubungannnya dengan energy lain. Salah satu cakupan dalam termodinamika adalah entalpi pelarutan. Perpindahan energy, baim berupa kalor maupun bentuk energy lainnya disebut kerja. Kerja yang mempengaruhi jumlah keseluruhan energi dalam sistem disebut energi dalam atau sering dinotasikan U (Petrucci,1996).
Kapasitas kalor (C) merupakan banyaknya kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu zat sebesar 1oC. Kalor jenis merupakan banyaknya kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu 1 gram zat sebesar 1oC. Kalor jenis molar adalah banyaknya energy kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu 1 mol zat sebesar 1oC (Petrucci, 1996).
Proses pelarutan merupakan proses mencampur zat terlarut dan zat pelarut dengan perbandingan tertentu menjadi suatu larutan. Proses pelarutan mengenal istilah zat pelarut (solvent), zat terlarut (solute), dan kelarutan. Zat pelarut merupakan zat yang jumlahnya lebih banyak dari pada zat terlarut dan biasanya dalam bentuk cairan, sedangkan zat terlarut, jumlahnya lebih sedikit dari pada zat pelarut. Istilah kelarutan merupakan ukuran banyaknya suatu zat dapat larut dalam secara maksimum dalam suatu pelarut pada kondisi tertentu dan dinyatakan dalam mol/liter. Setiap zat memiliki kelarutan yang berbeda-beda terhadap suatu pelarut. Apabila zat pelarut melebihi batas ambang kemampuan melarutkan dari zat pelarut maka zat terlarut tidak akan mampu dilarutkan lagi. Semakin banyak zat terlarut maka larutan semakin jenuh (Sukardjo, 1997).
Entalpi menyatakan jumlah energi internal suatu sistem ditambah dengan energi yang digunakan  untuk melakukan kerja pada sebuah materi. Entalpi dapat dirumuskan sebagai berikut:
dimana: H = entalpi sistem (joule)
U = energy dalam (joule)
P  = tekanan sitem (atm)
V = volume sistem (liter)
Persamaan ini diperoleh dari penurunan persamaan hukum pertama termodinamika pada tekanan tetap:

Entalpi (∆H) merupakan fungsi keadaan, sama halnya seperti energi dalam. Artinya, harga (∆H)  tidak bergantung pada jalannya proses namun hanya tergantung pada keadaan awal dan akhir proses. Entalpi merupakan besaran yang dapat ditentukan dan diukur. Pengukuran entalpi tidak dapat secara langsung. Alat yang digunakan untuk mengukur entalpi adalah kalorimeter. Entalpi yang terjadi pada fasa cair biasanya memiliki yang kecil (0,1 liter atau kurang). Berdasarkan ∆H dapat diketahui reaksi suatu proses bejalan eksoterm atau endoterm. Apabila ∆H > 0 maka proses berjalan secara endotermis dan sistem menyerap kalor. Bila ∆H=0, proses berjalan secara adiabatik dan semua kalor diubah menjadi kerja. Apbabila ∆H,0 maka sistem berjalan secara eksotermik dan sistem melepaskan kalor. ∆H akan berubah tanda apabila reaksi berlangsung pada arah sebaliknya (Syukri, 1999).
Proses pelarutan terdapat istilah entalpi pelarutan. Entalpi pelarutan merupakan entalpi pada saat melarutnya 1 mol zat dalam n mol pelarut (air). Reaksi yang terjadi bisa eksoterm ataupun endoterm. Entalpi pelarutan besarnya bergantung pada melalitas zat yang terbentuk dalam larutan. Perubahan entalpi saat sistem mengalami perubahan baik secara fisika maupun kimia pada keadaan standar disebut perubahan entalpi standar (∆Ho) (Atkins, 1999).
Hal-hal yang berpengaruh terhadap kelarutan suatu zat adalah jenis zat pelaryt dan terlarut, ukuran partikel, temperatur, dan tekanan. Oleh karena itu dikenal istilah panas pelarutan. Panas pelarutan merupakan panas yang menyertai reaksi kimia pada pelarutan mol zat solute dalam n mol solvent pada tekanan dan temperatur yang sama. Penyebabnya adalah ikatan kima dari atom-atom. Panas pelaruan sendiri dibagi menjadi panas pelarutan integral (total) dan panas pelarutan diferensial. Panas pelarutan integral adalah panas yang dilepas apabila satu mol zat terlarut dilarutkan dala sejumlah tertentu zat pelarut sehingga membentuk larutan dengan konsentrasi tertentu. Sedangkan panas pelarutan diferensial adalah panas yang menyertai pada penambahan satu mol zat terlarut kedalam sejumlah larutan dengan konsentrasi tertentu sehingga penambhana zat terlarut tidak mempengaruhi larutan yang dihasilkan. Panas pelarutan tidak seperti kelarutan, panas pelarutan tidak bergantung pada jenis zat terlarut dan pelarut, suhu, dan tekanan, tetapi bergantung pada konsentrasi larutan yang akan dibuat. Sehingga panas pelarutan berbanding terbalik dengan kelarutan suatu zat. Apabila panas pelarutan ∆H bernilai negatif maka daya larut zat menurun deiring dengan naiknya temperatur. Sebaliknya, jika panas pelarutan (∆H) bernilai negatif maka daya larut zat meningkat dengan meningkatnya temperatur. Tekanan sangat berpengaruh pada daya larut gas namun tidak berpengaruh pada daya larut padat dan cair (Sukardjo, 1997).
Efek panas pada pembentukan suatu larutan yang mengandung n mol zat terlarut dan 1000 gram solven adalh m. Grafik ∆H digambarkan terhadap mol solute m. Kemiringan grafik menunjukkan diferensial pada konsentrasi tertentu. Menurut Van’t Hoff (seorang kimiawan kimia fisik dan organik yang berasal dari belanda), umumnya panas pelarutan bernilai positif (endotermis) sehingga semakin tinggi temperatur maka kelarutan semakin besar, sedangkan zat-zat yang panas pelarutannya negatif amka zat yang terlarut semakin sedikit. Berdasarkan penjelasan yang sudah dijelaskan sebelumnya, dapat diketahui bahwa kesetimbangan dapat dipengaruhi oleh temperatur. kelarutan yang dipengaruhi oleh temperatur dapat dinyatakan dalam persamaan, yakni:


BAB 2. METODOLOGI PERCOBAAN

2.1 Alat
-        Erlenmeyer
-        Gelas beker
-        Termometer
-        Pengaduk
-        Pipet mohr
-        Ball pipet
-        Buret
-        Statif
-        Corong
2.2  Bahan
-        Asam oksalat
-        Akuades
-        Indikator PP
-        NaOH
-        Garam (NaCl)
-        Es batu















2.3 Diagram Kerja



-     Ditimbang 100 mg asam oksalat menggunakan neraca analitik
-     Diukur suhu 100mL akuades dalam gelas beker
-     Dilarutkan asam oksalat tadi kedalam 100mL akuades sedikit demi sedikit sampai keadaan jenuh.
-     Diambil asam oksalat dan dtambahkan lagi kedalam larutan sampai larutan menjadi jenuh, diaduk terus menerus.
-     Diukur suhu larutan jenuh dan dicatat
-     Dimasukkan larutan NaOH yang sudah distandarisasi kedalam buret
-     Dimasukkan garam beker yang berisi larutan jenuh kedalam wadah yang berisi es dan garam, diaduk dan diukur hingga suhunya 5oC
-     Diambil larutan bersuhu 5oC sebanyak 5 mL dan ditambahkan 2 tetes indikator PP, dilakukan duplo.
-     Dititrasi dengan NaOH hingga terjadi perubahan warna dan dicatat jumlah NaOH yang dibutuhkan
-     Diukur juga larutan jenuh dengan suhu 10 oC, 15 oC, 20 oC, dan 25 oC dengan mengeluarkan dari wadah yang berisi es dan garam agar suhunya meningkat
                   -   Dilakukan duplo  

BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
Suhu
Volume NaOH
V rata-rata NaOH
N
M
mol
massa
Kelaru-
tan
Percobaan 1
Percobaan 2
5oC
9,7 mL
9,6 mL
9,65 mL
0,965 N
0,4825 M
0,0024 mol
0,216 g
0,0432 g/mL
10oC
14,1 mL
12,8 mL
13,45 mL
1,345 N
0,6725 M
0,0033 mol
0,297 g
0,0594 g/mL
15oC
15,3 mL
15,3 mL
15,3 mL
1,53 N
0,765 M
0,0038 mol
0,342 g
0,0648 g/mL
20oC
19,4 mL
19,8 mL
19,6 mL
1,96 N
0,980 M
0,0049 mol
0,441 g
0,0882 g/mL
25oC
24,2 mL
24,1 mL
24,15 mL
2,415 N
1,2075 M
0,0060 mol
0,540 g
0,108  g/ml

Suhu air awal = 26oC
Suhu larutan jenuh = 22oC

3.2. Grafik hungungan antara suhu dan kelarutan


 


 
3.2 Pembahasan
Praktikum ke-1 ini membahas tentang  entalpi pelarutan. Tujuan percobaan ini adalah mengetahui pengaruh temperatur terhadap kelarutan suatu zat dan menentukan entalpi kelarutannya. Entalpi menyatakan jumlah energi internal suatu sistem ditambah dengan energi yang digunakan, sedangkan entalpi pelarutan merupakan entalpi pada saat melarutnya 1 mol zat dalam n mol pelarut (air). Panas pelarutan merupakan perubahan entalpi saat dua atau lebih zat murni dicampur untuk membuat suatu campuran pada suhu dan tekanan tetap. Panas  pelarutan muncul akibat adanya ikatan kimia baru antara asam-asam pelarutan, perubahan gaya antar molekul tak sejenis dengan sejenis. Perubahan energi disebabkan oleh perbedaan gaya tarik-menarik antar molekul sejenis, dimana gaya ini lebih kecil dari pada ikatan intramolekulnya. Hal ini menyebabkan panas pelarutan lebih kecil daripada panas reaksi.
Sebanyak 100 mL akuades yang bersuhu 25oC ditambahkan sejumlah gram kristal asam oksalat hingga jenuh, yaitu sudah tidak dapat melarutkan lagi dan mulai terbentuk endapan. Digunakan asam oksalat karena kelarutannya sangat sensitif terhadap suhu sehingga dengan berubahnya suhu, kelarutan asam oksalat juga akan berubah selain itu asam oksalat memiliki kelarutan yang kecil bila dilarutkan dalam air. Jumlah asam oksalat yang ditambahkan sampai larutan menjadi jenuh adalah sebanyak 12,864 gram. Asam oksalat akan terurai dalam air membentuk ion-ionnya. Reaksinya natara lain:
H2C2O4 (aq) à  2H+ (aq) +  C2O42- (aq)
Pengukuran dengan termometer menyatakan bahwa suhu larutan jenuh adalah 22oC. Hal ini menjelaskan bahwa terjadi penurunan suhu saat akuades dilarutkan dengan asam oksalat, sehingga dapat diketahui bahwa panas pelarutan lebih kecil daripada panas reaksi. Reaksi bersifat endoterm karena suhu larutan menjadi dingin. Reaksi antar keduanya dapat dipercepat dengan melakukan pengadukan. Pengadukan membantu larutan menjadi cepat homogen, sehingga partikel-partikelnya bergerak lebih cepat dan semakin tidak beraturan, menyebabkan tumbukan semakin sering terjadi dan reaksi berjalan lebih cepat. Proses pelarutan menyebabkan terpecahnya molekul intermolekul asam oksalat dan terbentuknya ikatan intermolekul antara asam oksalat dan akuades dimana molekul akuades mengelilingi molekul asam oksalat membentuk suatu struktur yang stabil. Asam oksalat yang ditambahkan terus menerus akan mencapai titik jenuh, dimana tidak ada molekul akuades yang mampu mengikat asam oksalat lagi. Kelarutan asam oksalat dalam akuades dapat juga diperbesar dengan merubah suhu. Pengaruh suhu bergantung pada panas pelarutan. Van’t Hoff menyatakan bahwa apabila pelarutan (∆H) negatif, maka daya larut turun dengan naiknya temperatur. Sebaliknya, apabila panas pelarutan (∆H) positif, maka daya larut naik dengan naiknya temperatur. Telah diketahui bahwa rekasi berjalan secara endoterm, sehingga ∆H positif. Untuk menguji teori diatas, suhu larutan diturunkan hingga 5oC, 10 oC, 15 oC, 20 oC, dan 25 oC. Suhu larutan diturunkan dengan bantuan es batu dan garam yang diletakkan pada sekeliling gelas beker. Es digunakan untuk menurunkan suhu karena es akan menyerap kalor dari dinding-dinding gelas. Garam akan menyebabkan permukaan es mencair dan membentuk larutan garam. Es akan menyerap panas dari larutan garam ini sehingga larutan menjadi dingin. Selanjutnya, larutan garam menyerap panas dari larutan yang ada dalam gelas beker melalui dinding gelas sehingga larutan menjadi cepat dingin. Garam yang ditambahkan pada es batu akan dapat menurunkan titik leleh es batu. Karena itu, es batu dengan adanya garam akan lebih cepat mencair daripada es batu tanpa danya garam. Es batu tanpa danya garam akan tetap mencair akibat panas yang berasal dari lingkungan. Panas ini juga mempengaruhi mancairnya es batu dengan garam.  Hasilnya adalah pasa suhu 5oC terbentuk endapat asam oksalat yang tidak larut dalam akuades pada bagian bawah gelas beker. Pada suhu 10oC endapan semakin berkurang. Semakin tinggi suhu, endapan semakin berkurang dan lama-kelamaan menjadi habis. Hal ini disebabkan karena panas pelarutan asam oksalat bersifat positif, artinya kelarutan akan meningkat bila temperatur dinaikkan. Konsentrasi menyatakan banyaknya jumlah zat yang terkandung dalam larutan, semakin banyak zat terlarut maka konsentrasinya semakin tinggi. Jadi, semakin rendah suhu maka kelarutannya semakin kecil. Hal ini menyebabkan konsentrasi zat yang dapat larut dalam larutan semakin kecil dan semakin banyak membentuk endapan yang tidak larut. Pada suhu 25oC endapat sudah tidak terlihat lagi. Ini menunjukkan bahwa pada reaksi endotermis yakni pelarutan (∆H) positif, maka daya larut bertambah dengan naiknya temperatur dan sesuai dengan pernyataan Van’t Hoff.
Sejumlah 5 mL larutan jenuh yang sudah diturunkan suhunya pada suhu yang diinginkan dititrasi dengan NaOH yang sudah distandrisasi setelah sebelumnya diteteskan 2 tetes indikator PP kedalam larutan jenuh. Tujuan dilakukan titrasi adalah untuk mengetahui banyaknya kristal asam oksalat yang larut dalam air . Tujuan  NaOH distandarisasi adalah karena NaOH merupakan standar sekunder dan bersifat higroskopis, sedangkan standar yang baik digunakan dalam proses titrasi adalah standar primer dan tidak bersifat higroskopis. Oleh karena itulah mengapa NaOH perlu distandarisasi terlebih dahulu dengan asam oksalat. Penambahan indikator PP dimaksudkan untuk mendeteksi saat terjadinya titik akhir titrasi. Pemilihan indikator PP dikarenakan indikator ini memiliki trayek kerja antara pH 8-10. Asam oksalat dan NaOH merupakan pasangan asam basa kuat maka titik ekivalen kemungkinan terjadi pada pH 7 ke atas, sehingga dipilihlah indikator yang memiliki range pH diatas 7, yakni indikator PP. Reaksi yang terdi saat proses titrasi adalah sebagai berikut:
H2C2O4 (aq) + 2NaOH (aq) à Na2C2O4 (aq) + 2H2O (l)
Berdasarkan data, dapat diketahui bahwa volume rata-rata antara 2 percobaan pada suatu suhu akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Suhu 5oC membutuhkan sekitar 9,65 mL NaOH untuk mencapai titik akhir. Suhu 10oC membutuhkan sekitar 13,45 mL NaOH untuk mencapai titik akhir. Suhu 15oC membutuhkan sekitar 15,3 mL NaOH untuk mencapai titik akhir. Suhu 20oC membutuhkan sekitar 19,6 mL NaOH untuk mencapai titik akhir . Suhu 25oC membutuhkan sekitar 24.15 mL NaOH untuk mencapai titik akhir. Peningkatan volume ini dikarenakan semakin meningktanya pertikel yang yang larut dan berpengaruh pada konsentrasi larutan. Semakin tinggi suhu, maka konsentrasinya semakin tinggi, jadi volume NaOH (basa) yang dibutuhkan untuk menetralisasi asam oksalat juga semakin banyak. Apabila konsentrasi antara NaOH dan asam oksalat sudah sama, maka akan terbentuk titik ekivalen. Titik ekivalen berdekatan dengan titik akhir, jika sudah mencapai titik ekivalen diikuti dengan perubahan warna larutan menjadi pink pada titik akhir titrasi. Hal ini menunjukkan bahwa semkin tinggi suhu, maka zat yang terlarut semakin besar. Berdasarkan volume percobaan, dapat dihitung normalitas asam oksalat. Nilai normalitas NaOh secara teori sudah diketahui, yakni sebesar 0,5 N sehingga normalitas asam oksalat berturut-turut dari suhu 5oC, 10 oC, 15 oC, 20 oC, 25 oC adalah 0,965 N; 1,345 N; 1,53 N; 1,96 N; 2,415 N.
Jumlah asam oksalat yang terkandung dalam larutan tersebut dapat diketahui dengan mengkonversi rumus normalitas hingga menjadi rumus mol sehingga dapat diketahui massanya. Normalitas larutan bersuhu 5oC diketetahui adalah 0,965 N, suhu 10oC normalitasnya adalah 1,345 N, suhu 15oC memiliki normalitas 1,53 N, suhu 20oC memiliki normalitas 19,4 N, dan suhu 25 oC normalitasnya adalah sebesar 2,415 N. Normalitas ini  kemudian dikonversi menjadi molaritas sehingga didapat nilai molaritas berturut-turut dari suhu 5 oC hingga 25 oC, yakni 0,4825 M; 0,6725 ; 0,765 M; 0,980 M dan 1,2075 M. Molaritas dikalikan dengan volumenya maka didapatkan nilai molnya, yakni berturut-turut 0,0024 mol, 0,0033 mol, 0,0038 mol, 0,0049 mol dan 0,0060 mol. Massa zat dapat diketahui dari molnya dengan mengalikannya dengn Mr. Berdasarkan perhitungan, massa zat dari larutan bersuhu 5 oC hingga 25 oC adalah sebesar 0,216 gram; 0,297 gram; 0,342 gram; 0,441 gram; dan 0,540 gram. Kelarutan pada suhu ini dapat diketahui dengan membagi massa zat dengan volume larutan yang diuji. Kelarutan berturut-turut dari larutan bersuhu 5 oC hingga 25 oC adalah 0,0432 M; 0,0594M; 0,0648M; 0,0882M; dan 0,108M. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa kenaikan temperatur dapat meningkaptkan kelarutan suatu zat. Hal ini dikarenakan proses pembentukan larutannya bersifat endoterm.
Berdasarkan data-data tersebut maka dapat dibuat kurva hubungan antara temperatur dengan kelarutan asam oksalat terhadap akuades. Kurva tersebut dapat disajikan seperti kurva dibawah ini:
 


                                                                                         
Grafik 3.1 Hubungan antara suhu dan kelarutan

Grafik menjelaskan bahwa semakin tinggi suhu, maka kelarutan asam oksalat akan semakin meningkat. Grafik menunjukkan linearitas hubungan suhu dan kelarutan. Kelarutan pada tiap-tiap temperatur yang berbeda masih bersifat tidak terlalu linear. Hal ini dimungkinkan suhu yang diukur tidak tepat 15oC sehingga kelarutannya tidak linear dengan yang lain. Entalpi kelarutan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sehingga didapatkan nilai adalah sebesar 3640,4 .


BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Temperatur berpengaruh terhadap kealrutan suatu zat. Reaksi berjalan secara endoterm, jadi kenaikan suhu dapat meningkatkan kelarutan asam oksalat dalam akuades. Banyaknya asam oksalat yang terlarut mempengaruhi konsentrasi larutan.

4.2 Saran
Praktikum entalpi pelarutan ini merupakan praktikum yang sensitif terhadapap suhu. Perubahan suhu yang sedikit saja mampu merubah nilai kelarutan zat. Larutan perlu diaduk terus menerus agar larutan menjadi homogen dan tidak mengendap. Suhu larutan saat akan dititrasi harus selalu dicek dan disamakan dengan suhu yang diukur. Pengambilan 5 mL larutan dilakukan satu persatu, karena jika langsung dilakukan duplo dikhawatirkan suhu larutan pada erlenmeyer kedua tidak sesuai dengan yang diharapkan dikarenakan praktikan masih menintrasi erlenmeyer pertama.  Titrasi agar dilakukan secara hati-hati dan menggunakan teknik yang benar, karena kelebihan 1 tetes saja maka mempengaruhui nilai kelarutan asam oksalat. Praktikan agar mematuhi aturan dan tata tertib yang berlaku dalam laboratorium agar didapat hasil yang akurat dan terhindar dari hal yang tidak diinginkan.

Daftar Pustaka

Anonim. 2015. MSDS Akuades. http://www.sciencelab.com/msds.php?msdsId=9927321. Diakses pada tanggal 20 Maret 2015.
Anonim. 2015. MSDS Asam Oksalat. http://www.sciencelab.com/msds.php?msdsId=9926346. .Diakses pada tanggal 20 Maret 2015.
Anonim. 2015. MSDS NaOH. http://www.sciencelab.com/msds.php?msdsId=9924998. Diakses pada tanggal 20 Maret 2015.
Anonim. 2015. MSDS Phenilpthalein. http://www.sciencelab.com/msds.php?msdsId=9926476.  Diakses pada tanggal 20 Maret 2015.
Atkins, P.W. 1999. Kimia Fisika. Jakarta: Erlangga.
Petrucci, R.H. 1996. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Edisi ke-4 Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Sukardjo. 1997. Kimia Fisik. Yogyakarta: Rineka Cipta.
Syukri. 1999. Termodinamika Kimia. Jakarta: Erlangga.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Unknown mengatakan...

itu landasan teorinya pakebuku apa ya min????
please balas ya min

Posting Komentar